Halaman

Jumat, 13 Februari 2015

Sejarah Kelam Syariat Wahabi

PELAKSANAAN "SYARIAT ISLAM"-NYA WAHABI

Pandangan Guru Sufi terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam bernegara yang tidak sejalan dengan pandangan ustadz Hajibul Haqq, ternyata berbuntut. Entah siapa yang menyebarkan, tiba-tiba Guru Sufi diisukan sebagai kyai yang menolak syariat dan tidak mau menjalankan syariat. Sejumlah aktivis datang untuk bertabayyun mengenai isu tak jelas itu. Dipimpin Khoirul, Joko dan Bambang, belasan aktivis meminta penjelasan Guru Sufi tentang kebenaran isu tersebut.

Sambil tersenyum Guru Sufi menjelaskan duduk persoalan kenapa ia tidak sepaham dengan ustadz Hajibul Haqq dengan alasan pentingnya kejelasan yang dimaksud syariat, karena kejelasan syariat tidak sekedar menyangkut sudut pandang yang digunakan melainkan menyangkut pula pelaksanaannya. Sebab baiknya syariat pada tingkat konseptual, belum tentu baik dalam pelaksanaan apalagi jika syariat itu dimanfaatkan secara tidak semestinya untuk kepentingan pribadi. “Kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat yang tidak jelas apa firqah dan mazhabnya dan siapa pelaksanaannya, sehingga timbul kepahitan bagi umat,” ujar Guru Sufi.

“Maaf Mbah Kyai, setahu saya bangsa Indonesia belum pernah menerapkan syariat Islam,” kata Khoirul menyela penjelasan Guru Sufi,”Bahkan untuk hukum jinayat, yang diterapkan pun bukan syariat Islam melainkan hukum bikinan Belanda, Burgelijk Wetboek. Bagaimana Mbah Kyai bisa menyatakan kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat?”

“Ketahuilah, wahai pemuda-pemuda kritis,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa sejak jaman kuno bangsa kita sudah hidup teratur menurut hukum. Sejak tahun 648 Masehi, kitab Kalingga Dharmasastra jadi acuan hukum pidana dan perdata. Terus dilanjut era Singhasari dengan Purwadigama Dharmasastra yang dilanjut era Majapahit dengan Kutaramanawa Dharmasastra. Untuk hukum pidana, misal, semua sama: pencuri potong tangan, rampok dihukum bunuh, koruptor dipenggal dan dirampas harta korupnya ditambah hukuman anak dan isterinya jadi budak. Penzinah dihukum bunuh. Pemerkosa dihukum bunuh, dan macam-macam hukuman yang keras lainnya untuk pelaku kejahatan. Sampai zaman Demak, Pajang dan Mataram hukum yang keras itu terus dijalankan.”

“Maaf Mbah Kyai, kalau hukum kuno seperti itu, kan sama dengan syariat Islam?” tanya Khoirul.
“Esensinya sama tapi namanya saja yang beda,” sahut Guru Sufi,”Karena itu warga era Majapahit sampai era Demak, yang Hindu, Buddha maupun muslim tunduk di bawah supremasi hukum kuno itu.”

“Lalu hukum syariat mana yang Mbah Kyai sebut sebagai sejarah kelabu?”
“Waktu kaum Wahabi berkuasa di Sumatera Barat,” kata Guru Sufi menjelaskan latar sejarah pelaksanaan syariatnya kaum Wahabi,”Waktu itu yang memimpin Tuanku Nan Rinceh. Berbagai tindak maksiat, bid’ah, khurafat, takhayul, dan adat kebiasaan yang tidak Islami diberantas dengan keras. Bahkan kebiasaan makan sirih, dilarang dengan ancaman hukuman mati. Nah, sebagai contoh ketegasan penguasa, bibi Tuanku Nan Rinceh yang sudah tua ditangkap karena kedapatan makan sirih. Lalu orang tua yang merasa tidak melakukan dosa dan salah itu dihukum pancung di lapangan. Tidak cukup memenggal perempuan tua itu, Tuanku Nan Rinceh memerintahkan pengikutnya untuk tidak menguburkan mayat bibinya, melainkan menyuruhnya buang ke hutan supaya dimakan hewan buas. Itulah contoh yang sesuai bagi yang melanggar hukum Tuhan.”

“Tindakan Tuanku Nan Rinceh menghukum mati bibinya, menggemparkan dan membuat takut penduduk. Tidak ada satu pun orang yang berani makan sirih lagi. Tapi, para pengikut Tuanku Nan Rinceh justru membawa segepok daun sirih untuk diletakkan di rumah orang-orang kaya. Mereka meminta tebusan uang kepada tuan rumah dan jika tidak dikasih, mereka mengancam akan melaporkan kepada Tuanku Nan Rinceh bahwa di rumah tersebut ditemukan sirih. Tindakan pengikut Tuanku Nan Rinceh itu menggemparkan dan membuat takut penduduk. Ketika orang-orang kaya melaporkan tindakan para pengikutnya yang menyimpang itu, Tuanku Nan Rinceh tidak mengambil tindakan apa-apa. Ia hanya menyesalkan terjadinya penyimpangan tersebut.”

“Watak badui yang anti feodalisme, ternyata dijalankan oleh para penyebar Wahabi selain menista masyarakat bukan Wahabi sebagai kaum adat yang hidup tidak mengikut hukum Islam. Kaum bangsawan muslim di Pagaruyung, tanpa alasan jelas tiba-tiba diserang dan dijarah hartanya. Cicit salah seorang panglima Wahabi yang mencatat kisah-kisah teror kaum Wahabi di Sumatera Utara, termasuk kekejaman kakek buyutnya dalam menjalankan syariat, menyusun kisah-kisah traumatik itu dalam sebuah buku yang diberi judul Tuanku Rao. Demikianlah, resistensi muncul di mana-mana terhadap pelaksanaan syariat Wahabi yang menakutkan penduduk itu, sampai akhirnya pecah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslim setempat, yang kita kenal sebagai Perang Paderi. Itulah, sekelumit sejarah kelabu pelaksanaan syariat yang pernah terjadi di negeri ini. Karena itu, waktu ustadz Hajibul Haqq bicara soal pelaksanaan syariat dalam bernegara, aku tanya dulu syariat yang mana? Syariatnya Wahabi? Syiah? Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu semata-mata karena kita pernah mengalami peristiwa traumatik dalam sejarah penerapan syariat.




Ngotenn leee ...di obong se.. menyane ben ngudeng

‪#Sarkub ‪#Aswaja 

Kekurangajaran Wahabi Terhadap Para Sahabat

Tidak Pernah Bertemu Salafush Shalih Tapi Mengaku Golongan Salaf

Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholih namun pada kenyataannya tentu mereka tidak pernah bertemu dengan Salafush Sholih.

Perlu kita ingat bahwa nama-nama para Sahabat yang tercantum pada hadits, pada umumnya mereka berposisi sebagai perawi, bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah membaguskan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya -dalam lafadz riwayat lain : lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya.” (Hadits Shahih, Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).

Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan cuma dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata :

المجموع شرح المهذب - (ج 1 / ص 55)
وليس له التذهب بمذهب أحد من ائمة الصحابة رضى الله عنهم وغيرهم من الاولين وان كانوا أعلم وأعلا درجة ممن بعدهم لانهم لم يتفرغوا لتدوين العلم وضبط اصوله وفروعه فليس لاحد منهم مذهب مهذب محرر مقرر وانما قام بذلك من جاء بعدهم من الائمة الناحلين لمذاهب الصحابة والتابعين القائمين بتمهيد أحكام الوقائع قبل وقوعها الناهضين بايضاح اصولها وفروعها كمالك وأبى حنيفة وغيرهما

“Dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka dari generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka. Hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk menyusun ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas (dasar) dan furu’ (cabangnya). Tidak ada salah seorang dari mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut, dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas (dasar) dan furu’ (cabang) ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat.

Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya sendiri terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.

Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah dan kekurangajaran terhadap para Sahabat.





Wallahu A'lam.............

Albani Menyifati Ibnu Taimiyyah Pemberani

 Albani menyifati Syekh Ibnu Taimiyyah -rahimahullahu ta'ala- pemberani dalam mengingkari dan mendustakan hadis shahih.
Di dalam kitabnya Al Silsilah Al Shahihah Juz 5 Hal 222, Al Bani berkata :

السلسلة الصحيحة المجلدات الكاملة 1-9 - (ج 5 / ص 222)
فمن العجيب حقا أن يتجرأ شيخ الإسلام ابن تيمية على إنكار هذا الحديث و تكذيبه
في " منهاج السنة " ( 4 / 104 ) كما فعل بالحديث المتقدم هناك
Dan termasuk perkara yang mengherankan secara nyata, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berani mengingkari hadits tersebut dan mendustakannya di dalam kitab Minhajus Sunnah juz 4 hal 104, sebagaimana yang dilakukan pada hadits sebelum ini disana.
Lalu Al Bani di akhir ucapannya berkata :

السلسلة الصحيحة المجلدات الكاملة 1-9 - (ج 5 / ص 222)
فلا أدري بعد ذلك وجه تكذيبه للحديث
إلا التسرع و المبالغة في الرد على الشيعة ، غفر الله لنا و له .

Maka aku tidak tahu setelah itu atas alasan pendustaan beliau terhadap hadits tersebut kecuali tergesa-gesa dan berlebih-lebihan dalam membantah Syiah. Semoga Allah mengampuni aku dan beliau..... !!!



‪#Bagaimana menurut Anda Mas Abu Chibi-Chibi dan Ummu Unyu-Unyu ????

Ilmu Beliau Lebih Besar Dari Akalnya

Al-Imam al-Hafidz Waliyuddin al-Iraqiy (putra dari guru para Hafizh, Zainudin Al Iraqiy) Al Imam Al Hafizh dalam kitabnya Al-Ajwibah al-Mardhiyyah ‘an al-asilah al-Makkiyyah Hal 92, mengatakan bahwa Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah maka dia adalah seorang imam yang luas ilmunya, banyak keutamaan dan kebaikannya, zuhud dalam dunia, antusias dalam akherat dengan jalan salaf shalih.

Akan tetapi ada hal-hal yang dikritik yang dilontarkan juga oleh beliau :

 علمه أكبر من عقله ، فأداه اجتهاده إلى خرق الإجماع في مسائل كثيرة ، قيل إنها تبلغ ستين مسالة ، فأخذته الألسنة بسبب ذلك ، وتطرق إليه اللوم ، وامتحن بهذا السبب ، ومات مسجونا بسبب ذلك

“Ilmu beliau (Ibnu Taimiyyah) LEBIH BESAR DARI AKALNYA, maka menyebabkan ijtihad beliau melanggar ijma’ di dalam banyak persoalan, ada yang mengatakan mencapai 60 persoalan, maka banyak omongan tentangnya karena hal itu, dan cacian terhadapnya, sehingga ia mendapat ujian sebab hal ini dan wafat dalam keadaan dipenjara dengan sebab itu semua.“