Halaman

Minggu, 12 Mei 2013

Komite Hijaz Untuk Raja Ibn Saud


A. Komite Hijaz

Komite Hijaz Adalah nama sebuah kepanitiaan kecil yang diketuai oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Panitia ini bertugas menemui raja Ibnu Saud di Hijaz (Saudi Arabia) untuk menyampaikan beberapa permohonan.

Sejak Ibnu Saud Raja Najed yang beraliran Wahabi menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan madzhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Saat itu terjadi eksodus besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain, mereka pindah atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri asal Indonesia.

Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar. Dalam kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

Semula utusan para ulama adalah KH. R. Asnawi Kudus, namun karena beliau ketinggalan kapal dan tidak jadi berangkat, keberatan itu disampaikan melalui telegram. Dikarenakan telegram belum mendapatkan jawaban juga, akhirnya berangkatlah KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai utusan. Secara resmi utusan itu adalah:

1. KH. Abdul Wahab Hasbullah (Surabaya).
2. Syaikh Ghanaim al-Misri (Mesir) akhirnya diangkat sebagai Mustasyar NU.
3. KH. Dahlan Abdul Qohar (Pelajar Indonesia yang berada di Makkah).

Namun yang berangkat dari Indonesia hanya KH. Abdul Wahab Hasbullah. Misi yang diemban komite ini adalah menemui Raja Saudi (tanah Hijaz) Ibnu Sa’ud, untuk menyampaikan pesan-pesan para ulama pesantren di Indonesia, yaitu menyampaikan lima permohonan:

1. Memohon diberlakukan kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz pada salah satu dari madzhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermadzhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan madzhab tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudah terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermadzhab sehingga umat Islam menjadi sebagai tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak akan bersatu dalam kesesatan.

2. Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah yang terkenal, sebab tempat-tempat tersebut diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah: “Hanyalah orang yang meramaikan masjid Allah orang-orang yang beriman kepada Allah.” Dan firmanNya: “Dan siapa yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya dan berusaha untuk merobohkannya.” Disamping untuk mengambil ibarat dari tempat-tempat yang bersejarah tersebut.

3. Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim haji menganai tarif/ketentuan biaya yang harus diserahkan oleh jamaah haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.

4. Memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tersebut.

5. Jam’iyah Nahdlatul Ulama memohon balasan surat dari yang mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan permohonan-permohonan NU kepada yang mulia dan hendaknya surat balasan tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.

Karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.

Maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang merupakan respon terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi faktor terpenting didirikannya organisasi NU. Berkat kegigihan para kiai yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud.

B. Munculnya Komite Hijaz

Diantara penyebab munculnya komite Hijaz adalah jatuhnya Kholifah di Turki pasca Perang Dunia I, dan masuknya Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi dengan menguasai Makkah yang menjadi sentral ibadah umat Islam. Ketika itu Saudi berkeinginan menegakkan kembali khilafah yang jatuh itu dengan menggelar konferensi umat Islam sedunia, dan dipusatkan di Makkah.

Utusan dari Indonesia yang diakui adalah: HOS. Cokroaminoto dan KH. Mas Mansur, tetapi ikut pula berangkat H. M. Suja’ (Muhammadiyah), H. Abdullah Ahmad (Sumatera Barat), H. Abdul Karim Amrullah (Persatuan Guru Agama Islam).

Kemudian KH. Abdul Wahab Hasbullah dicoret keanggotaannya dengan alasan tidak mewakili organisasi. Akhirnya para ulama pesantren membentuk tim tersebut dengan mengatasnamakan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, meski secara resmi organisasinya belum didirikan. Utusan para ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz itu menunai hasil gemilang, raja menjamin kebebasan beramaliyah dalam madzhab 4 (empat) di Tanah Haram, dan tidak ada penggusuran makam Nabi Muhammad Saw., dan para sahabatnya.

Sepulang dari Makkah, KH. Abdul Wahab Hasbullah bermaksud membubarkan Komite itu karena dianggap tugasnya sudah selesai. Tapi keinginan itu dicegah oleh KH. Hasyim Asy’ari, komite tetap berjalan, namun dengan tugas yang baru, yaitu membentuk organisasi Nahdlatul Ulama, sebagaimana isyarat yang diberikan oleh Syaikhona Cholil Bangkalan yang dikirimkan melalui salah seorang santrinya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin Situbondo.

Sewaktu KH. Wahab Hasbullah akan mengumpulkan para ulama di Surabaya, tampaknya intelejen Belanda sudah mencium tanda-tanda peristiwa besar akan terjadi di kota Surabaya, karenanya mereka tidak memberikan idzin pertemuan. Tetapi para ulama tidak kehabisan cara untuk bisa mengadakan pertemuan tersebut.

Dengan alasan acara “Tahlil” dalam rangka Haul Syaikhona Cholil Bangkalan, para ulama berkumpul di rumah KH. Ridwan Abdullah di Jl. Bubutan VI Surabaya. Di luar rumah para undangan membaca Tahlil, sedangkan di dalam rumah para Kyai menggelar pertemuan untuk mendirikan jam’iyah NU. Selesai Tahlil itulah, tepatnya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

C. NU Membangun Jiwa Nasionalisme

Selain motif Agama, Nahdlatul Ulama lahir karena dorongan untuk Negara Indonesia merdeka. Para ulama berusaha membangunkan semangat nasionalisme melalui berbagai kegiatan keagamaan dan pendidikan, yang maksud dan tujuannya untuk melepaskan belenggu penjajah yang telah berhasil mencengkeram tanah air Indonesia selama hampir tiga setengah abad.

Nahdlatul Wathon sebagai wadah para pemuda NU dijadikan markas penggemblengan pemuda-pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan cinta tanah air. Setiap akan dimulai kegiatan belajar, para murid diharuskan terlebih dulu menyanyikan lagu perjuangan dalam bahasa Arab, yang telah digubah oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam bentuk sya’ir yang terjemahannya seperti berikut ini:

“Wahai bangsaku wahai bangsaku
Cinta tanah air bagian dari iman
Cintailah tanah air ini wahai bangsaku
Jangan kalian menjadi orang terjajah
Sungguh kesempurnaan itu harus
Dibuktikan dengan perbuatan
Dan bukanlah kesempurnaan itu hanya
Berupa ucapan

Wahai bangsaku yang berfikir jernih
Dan halus perasaan
Kobarkan semangat
Jangan jadi pembosan.”

D. Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Ketika Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk tanggal 29-April-1945, KH. Ahmad Wahid Hasyim duduk sebagai salah seorang anggotanya. Begitu juga KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Masykur, dan KH. Zainul Arifin.

KH. Ahmad Wahid Hasyim bergabung sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, ia tercatat sebagai salah seorang perumus dasar Negara dan turut serta sebagai penanda tangan Piagam Jakarta bersama delapan orang lainnya.

Disaat Belanda datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah, NU mengeluarkan fatwa Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama itu mampu membakar semangat perjuangan kaum muslimin. Mereka tidak gentar menghadapi kematian, karena perang tersebut dihukumi perang fi sabilillah (perang di jalan agama Allah).

Akhir kata, bahwa berdasar kalender Hijriyyah sekarang ini kita telah memasuki bulan mulia Rajab (syahrullah), tepat tanggal 16 Rajab nanti merupakan Hari Lahir Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Harapan kami semoga Jam’iyyah Nadlatul Ulama semakin eksis dan istiqamah dalam perjuangannya. Aamiin

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 02 Rajab 1434 H/12 Mei 2013 M